Umumnya negara berkembang lebih memilih kebijakan ekonomi terbuka, yaitu melakukan hubungan ekonomi dengan luar negeri. Kebijakan ini akan membuka akses pasar ekspor bagi produk-produk mereka, sekaligus membuka sumber pengadaan barang modal dan bahan baku industri dari negara-negara lain. Secara teoretis, jika pengelolaan baik dan transparan, kebijakan ekonomi terbuka dapat mempercepat pembangunan ekonomi. Kebijakan perdagangan internasional terdiri atas kebijakan promosi ekspor, kebijakan substitusi impor, dan kebijakan proteksi industri.
1. Kebijakan Promosi Ekspor
Selain menghasilkan devisa, kebijakan promosi ekspor dapat melatih dan meningkatkan daya saing atau produktivitas para pelaku ekonomi. Umumnya, negara sedang berkembang mengekspor hasil-hasil sektor primer (pertanian dan pertambangan) atau hasil-hasil industri yang telah ditinggalkan negara-negara yang lebih dahulu maju. Thailand misalnya, sangat terkenal sebagai negara yang mampu menghasilkan devisa dari ekspor hasil pertanian. Sementara Indonesia, memperoleh devisa yang besar dari ekspor tekstil. Saar ini mereka tidlk lagi menambah perhatian pada sektor-sektor tersebut, melainkan berkonsentrasi pada industri yang padat ilmu pengetahuan, misalnya komputer dan peralatan komunikasi canggih atau peralatan militer modern. Hal ini dikarenakan nilai tambah dari penjualan produk-produk tersebut lebih tinggi dari yang dihasilkan industri tekstil.
2. Kebijakan Substitusi Impor
Kebijakan substitusi impor adalah kebijakan untuk memproduksi barang-barang yang diimpor. Tujuan utamanya adalah penghematan devisa. Di Indonesia, pengembangan industri tekstil pada awalnya adalah substitusi impor. Jika tahap substitusi impor terlampaui, biasanya untuk tahap selanjutnya menempuh strategi promosi ekspor.
3. Kebijakan Proteksi Industri
Kebijakan proteksi industri umumnya bersifat sementara, sebab tujuannya untuk melindungi industri yang baru berkembang, sampai mereka mampu bersaing. Jika industri tersebut sudah berkembang, maka perlindungan dicabut. Perlindungan yang diberikan biasanya adalah pengenaan tarif dan atau pemberian kuota untuk barang-barang produk negara lain yang boleh masuk ke pasar domestik
Ekspor dan impor tanaman perkebunan kapas
Kapas merupakan serat yang diperoleh dari biji tanaman kapas, yaitu sejenis tanaman perdu. Kapas banyak digunakan untuk pakaian karena sifatnya yang menyerap keringat sehingga nyaman dipakai dan stabilitas dimensi yang baik. Oleh karena itu, kapas berperan penting sebagai bahan baku dalam industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia.
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT) adalah salah satu industri yang merupakan prioritas dalam RPJM Nasional (Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005). Hal ini sangat beralasan karena industry ini telah berkembang secara terintegrasi sejak dari hulu (serat), intermediate (stapel dan filamen, tenun, dan rajut) sampai dengan produk akhir (garmen dan barang-barang tekstil). Beberapa tahun terakhir pertumbuhan ITPT melambat karena berbagai faktor internal dan eksternal, terutama disebabkan oleh munculnya negara- negara pesaing baru seperti Bangladesh, Vietnam, Srilanka, serta munculnya berbagai isu perdagangan global seperti isu HAM, lingkungan, dan social accountability, yang dapat berpengaruh terhadap.
Total investasi dan unit usaha pada industi TPT tahun 2005 cukup besar, yakni mencapai Rp132,38 triliun dengan 2.656 unit usaha. Investasi tersebut meliputi: (1) Industri serat buatan sebesar Rp11,93 triliun dengan 28 unit usaha, (2) industry pemintalan Rp25,04 triliun dengan 205 unit usaha, (3) industri kain lembaran Rp31,64 triliun dengan 1.044 unit usaha, (4) industri pakaian jadi Rp2,99 triliun dengan 856 unit usaha, serta (4) industry tekstil lainnya Rp60,83 triliun, dengan 524 unit usaha.
Penyerapan tenaga kerja ITPT pada tahun 2005 mulai dari industri serat, industri pemintalan, industri kain lembaran, industri pencelupan/pencapan/ penyempurnaan tekstil, dan industri pakaian jadi mencapai 1,18 juta orang (tidak termasuk 600.000 tenaga kerja pada industri kecil dan rumah tangga). Perkembangan ekspor industri TPT sangat nyata, terutama pada tahun 2004 dan 2005 yang berturut-turut mencapai pertumbuhan 10%.
Prospek pemanfaatan potensi pasar dalam negeri dapat digambarkan antara lain melalui konsumsi per kapita dan jumlah penduduk. Data menunjukkan bahwa konsumsi TPT dalam negeri per kapita setelah krisis tahun 1998 saat ini kembali membaik. Pada saat krisis konsumsi TPT dalam negeri hanya 1,57 kg/kapita, tetapi pada tahun 1999 meningkat dan mencapai 3,9 kg/kapita, sedangkan tahun 2005 diperkirakan mencapai 4,5 kg/ kapita. Sebagai perbandingan konsumsi dunia saat ini mencapai 8 kg/kapita, Malaysia bahkan konsumsi TPTnya mencapai 15 kg/kapita, tetapi India dan Pakistan masing-masing hanya 2,2 dan 3 kg/ kapita. Konsumsi TPT dunia secara total juga cenderung meningkat. Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1995 konsumsi dunia tercatat sebanyak 41 juta ton, meningkat pada tahun 2000 sebanyak 47 juta ton, dan proyeksi tahun 2005 diperkirakan sebanyak 56 juta ton. Potensi pasar industri TPT dalam negeri yang berkaitan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 210 juta jiwa perlu diamankan. Tercatat pada tahun 2004 pasokan industri TPT untuk kebutuhan total konsumsi dalam negeri dan ekspor (US$7,64 miliar) mencapai nilai produksi sebesar Rp85,57 triliun. Selain itu adanya pembatasan masuknya TPT Cina ke USA, UE, dan negara-negara nontradisional (Amerika Latin dan Turki), dapat menjadi peluang bagi industri TPT kita dalam memanfaatkan pemenuhan kebutuhan pasar di negara-negara tersebut.
Permasalahan ITPT
Sekalipun prospek pertumbuhan ITPT cukup besar, tetapi terdapat 13 permasalahan yang perlu segera dibenahi untuk meningkatkan daya saing, yakni: a) perpajakan, b) ketenagakerjaan c) tingkat suku bunga, d) masalah lingkungan, e) belum berkembangnya industri penunjang, f) perda-perda yang kontraproduktif, g) energi, h) revaluasi aset, i) restrukturisasi permesinan, j) scraping policy, k) penyelundupan, l) perjanjian internasional di bidang perdagangan, dan m) biaya pelabuhan yang tinggi.
Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang ada, yaitu: (1) Penghapusan PPN kapas dalam Paket Oktober 2005; (2) Revisi Keputusan Menhub tentang THC; (3) Revisi Undang-Undang Perburuhan; (4) Koordinasi dengan Menko Perekonomian tentang revaluasi aset dan scraping policy; (5) MOU Menperin dengan Meneg LH tentang Limbah B3; dan (6) Pemanfaatan batu bara dan solusi terhadap Dayamax plus PLN.
Kebutuhan bahan baku industri TPT berupa kapas alam diperoleh 95,5% melalui impor atau produksi kapas dalam negeri tidak lebih dari 25 ribu ton dari total kebutuhan kapas sebanyak 550.000 ton (Dr. Ir. Agus Hasanuddin Rachman, M.Sc. 2010). Negara eksportir kapas terbesar di dunia adalah Cina (25%), Amerika Serikat (21%), India dan Pakistan (total 19%), dan disusul Uzbekistan, Turki, Brazil, Australia (Makalah Kapas, 2007). Indonesia hanya menjadi negara net importir kapas, salah satu penyebabnya adalah terkendalanya pengembangan benih yang masih sangat terbatas. Berikut ini adalah perincian net ekspor industri kapas Indonesia dari tahun 2001 - 2009 :
Rata-rata ekspor industri kapas pada periode 2006 - 2009 mengalami penurunan dari periode 2001 - 2005 sebesar -9,54%. Dalam sepuluh tahun terakhir, hanya pada tahun 2005 saja Indonesia menjadi negara eksportir kapas. Industri TPT Indonesia sangat rentan dalam hal ketergantungan impor bahan baku kapas, jika negara eksportir tersebut menerapkan kebijakan penghapusan subsidi kapas, tentu saja kita akan terkena dampak negatifnya. Belum lagi pada awal bulan Januari 2011 terjadi kenaikan harga kapas yang dipicu oleh penurunan pasokan kapas dunia akibat Australia yang merupakan salah satu negara produsen kapas terbesar mengalami penurunan produksi karena curah hujan cukup tinggi.
Penurunan kinerja industri TPT disebabkan daya saingnya yang melemah, sedangkan penyebab lemahnya daya saing adalah ketergantungan bahan baku impor, alur tersebut berimplikasi pada sektor hilir termasuk pakaian jadi yang akan terkena dampaknya. Industri TPT di Indonesia hingga saat ini hanya mengandalkan sektor hilir yang banyak menyerap tenaga kerja saja, belum ada upaya lebih lanjut untuk mengoptimalkan sub sektor hulu.
Analisis data ekspor impor industri TPT dibagi menjadi dua periode yaitu pertama tahun 2001 - 2005 dan kedua tahun 2006 - 2009, dalam dua periode tersebut struktur ekspor belum terjadi perubahan yang signifikan dalam hal andalan komoditas ekspornya. Ekpsor industri TPT di Indonesia didominasi oleh sub sektor hilir (HS 61 dan HS 62), dan sub sektor hulu serat buatan (HS 54 dan HS 55). Satu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah HS 52 atau kapas, ketergantungan impor akan kapas sangat tinggi, akan tetapi selama dua periode ekspor kapas menempati urutan kelima sebagai komoditas ekspor utama dalam industri TPT Indonesia.
Sidang tahunan WTO Bulan Desember 2005 menetapkan, mulai tahun 2006 subsidi ekspor kapas negara maju dicabut secara bertahap. Pasca pencabutan subsidi ekspor kapas negara maju merupakan kondisi penting yang perlu mendapat perhatian yang saksama, terutama berkaitan dengan dampak dan peluang bagi pengembangan ITPT serta industri pendukungnya. Dampak pencabutan subsidi ekspor kapas tersebut dapat diperkirakan, antara lain:
1. Bertendensi terhadap pengurangan kuota ekspor kapas oleh negara maju.
2. Negara produsen kapas lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
3. Konsumsi kapas akan berkurang, harga kapas meningkat dan biaya produksi industri menjadi tinggi. Indonesia merupakan negara penghasil produk TPT No. 13 terbesar di dunia, nomor lima di Asia dan terbesar di Asia Tenggara, yang juga membutuhkan dan menggunakan serat alam dan serat sintetis dengan volume yang sangat besar.
Dukungan serat alam terutama kapas yang bersumber dari dalam negeri sangat sedikit sekali, bahkan umumnya diimpor dari luar negeri. Volume impor kapas setiap tahunnya berkisar 450 760 ribu ton, atau lebih kurang 99,5% dari kebutuhan serat nasional yang bernilai lebih kurang US$650 juta. Impor kapas berasal dari beberapa negara antara lain Amerika Serikat, Australia, India, dan Cina. Kontribusi kapas dalam negeri untuk industri TPT hanya ± 0,54% dari total kebutuhan kapas dalam negeri. Tanaman kapas di Indonesia sulit berkembang, karena klimatologinya tidak mendukung, sehingga memerlukan perawatan yang rumit, akibatnya harga jual relatif tinggi dan bahkan lebih tinggi dari harga kapas impor. Namun demikian di beberapa daerah tertentu seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, NTB, dan beberapa daerah lainnya tanaman kapas dapat tumbuh dengan baik. Pencabutan subsidi kapas ekspor negara maju
pada tahun 2006, sangat memungkinkan harga kapas dalam negeri dapat bersaing. Oleh karenanya perlu mengintensifkan kembali tanaman kapas di daerah-daerah potensial tersebut. Untuk mendorong berkembangnya serat kapas dalam negeri perlu dukungan instansi/pihak terkait seperti Dep. Keuangan, Dep. Perdagangan, Kementerian Koperasi, Dep. Perindustrian dll.
Kebijakan pemerintah pajak impor kapas
Sehubungan dengan surat Nomor XXX tanggal 24 Februari 2005 hal Penangguhan PPN Kapas yang ditujukan kepada Menteri Keuangan, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam Surat tersebut disampaikan bahwa:
a. Dalam 4 tahun terakhir, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) adalah sektor utama penghasil devisa di sektor non migas dengan rata-rata nilai ekspor sebesar US$ 7,48 Milyar dan menyerap 1,18 juta tenaga kerja langsung.
b. Permasalahan pengenaan PPN atas kapas sangat memberatkan industri TPT nasional selain itu pemberlakuannya masih bertentangan dengan peraturan mengenai impor barang strategis.
c. Berdasarkan hal tersebut, diminta penangguhan pemberlakuan PPN kapas sehingga permasalahan ini dapat diselesaikan. Rekomendasi yang diberikan adalah:
1. Kapas dimasukan sebagai barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
2. Atas impor kapas dikenakan PPN dengan tarif 0%.
2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, antara lain diatur bahwa:
a. Pasal 4 huruf c, atas impor Barang Kena Pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
b. Pasal 4A jo. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, Kapas tidak termasuk sebagai jenis barang yang atas penyerahannya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
c. Pasal 16B jo. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003, Kapas bukan merupakan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
3. Sesuai Pasal 14 huruf c Keputusan Menteri Keuangan nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 349/KMK.01/1999, atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah oleh Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) diberikan penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor.
4. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 580/KMK.03/2003 tentang Tatalaksana Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Dan Pengawasannya, terhadap barang dan/atau bahan asal imporuntuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain di Perusahaan dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan Pembebasan serta PPN dan PPnBM tidak dipungut.
a. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ditegaskan bahwa:
Kapas tidak termasuk sebagai barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai ataupun Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan PPN oleh karena itu atas setiap impor kapas terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Kapas tidak termasuk sebagai barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai ataupun Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan PPN oleh karena itu atas setiap impor kapas terutang Pajak Pertambahan Nilai.
b. Namun demikian, bagi pengusaha industri yang mempunyai orientasi ekspor dapat memanfaatkan skema fasilitas perpajakan yang ada yaitu fasilitas bagi Pengusaha Di Kawasan Berikat atau fasilitas berupa Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor, dimana salah satu kemudahan tersebut adalah penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor atas impor barang/bahan (termasuk kapas) yang diolah lebih lanjut untuk tujuan ekspor.
By : Maulidatur R.N. (0910480244)
DAFTAR PUSTAKA
- Anonymous. 2011. Beberapa Kebijakan Ekonomi Internasional. http://artikelekonomi.com/beberapa-bentuk-kebijakan-ekonomi-internasional.html. Diakses 24 Mei 2011.
- Arfiansyah, D. 2011. Antara Ekspor dan Impor Industri Kapas Di Indonesia. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/02/17/antara-ekspor-dan-impor-industri-kapas-indonesia/. Diakses 23 Mei 2011.
- Arryanto Sagala._. Kebijakan Sektor Industri TPT Dalam Mendukung Pengembangan Kapas dan Rami Pasca Pencabutan Subsidi Ekspor Kapas Negara Maju. Direktorat Industri Tekstil dan Produk Tekstil
- Indriani, N. 2002. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Sehubungan Dengan Penerimaan Keuangan Daerah. Tesis Magister Ilmu Hukum, Ilmu Hukum Universitas Diponegoro : Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar